Rabu, 02 Februari 2011

Kehidupan sebuah ladang uang

Tanggal 20 januari kemaren uas pun selesai.Dengan perasaan penuh harap bak prajurit perang yang menanti perintah dan kondisi hari esok,sore harinya aku langsung pulang ke kota asalku,cilegon.
Rasa rindu,rasa senang,rasa waswas bercampur jadi satu sore itu.
Aku nggak tau gimana cara mengungkapkannya.yang jelas aku tak sabar datangnya siang hari tuk segera berangkat ke terminal yang ramai akan calon penumpang yang hari itu ternyata cuaca sedang tidak bagus.

Terminal Jombor siang itu ramai orang,bergerombol,bergumam,diselingi lagu campursari dari salah satu warung penjual tiket bus.
Deru mesin-mesin bus tidak mau kalah bersaing menambah ramainya angin yang bertiup bercampur rintik hujan di jombor.Sebagian kaos yang kupakai mulai basah.Jalan-jalan tergenang air.
Pak tua itu sedang duduk di bawah pohon di samping gerobak pangsit hijaunya menunggu pembeli yang datang.
"pak,baksonya satu ya pak.",sapaku setengah mengagetkannya.
Emang enak kalau hujan gini makan bakso hangat.

Sekilas mataku menatap tubuh pak tua itu.Tubuhnya sudah keriput,kulitnya hitam,bajunya putih lusuh dengan topi coklat bergambar.
Sekilas aku teringat papaku di rumah,yang setiap hari bekerja memenuhi tugasnya sebagai ayah.Mencari nafkah tuk keluarga.Mencari uang membiayai sekolah ketiga anaknya.
Pikiranku melayang jauh tentang sosok yg selama ini berjuang demi menopang detak jantung anak-anaknya.

"sambelnya ambil sendiri ya mas",suara bapak itu mengaburkan khayalanku.
"makasih ya pak",sambil sedikit kukirimkan senyum untuknya.

Busku belum juga datang.Sepertinya terlambat datang lagi.
Sampai akhirnya aku ketemu Pratix dan April yang juga mau pulang kampung ke Lampung
Tapi kita naik bus yang berbeda.

Sebuah bus Santoso (bus yang mau saya tumpangi) pun akhirnya lewat dan berhenti.
"mas,ini bukan busnya?",tanyaku pada mas-mas penjaga agen bus.
"bukan mas,bukan yg ini",jawabnya sambil berlari menuju bus tsb sambil memberi selembar kertas pada kondektur.
Kembali aku harus menunggu dan duduk di atas kursi kayu panjang di depan agen bus.
Seorang bayi menangis di pelukan ibunya.Mungkin ia tak betah berada di tengah lingkungan yg kurang nyaman buatnya.

Waktu tidak mau mengerti.Waktu tidak mau menunggu.
Sampai jam segini kok bus ku belum datang juga.
Ketidaksabaranku menjadi tidak berarti ketika di ujung jalan seorang sopir tua bus dalam kota menunggu busnya penuh untuk kemudian menarik setoran kembali.
Bapak itu tak hirau keringat yang keluar basahi tubuhnya.Keringat itu bukti perjuangannya tuk keluarga.

Bapak penjual bakso pangsit,mas-mas agen bus,dan pak sopir bus dalam kota itu adalah masa depanku.
Merekalah gambaranku di hari depanku.
Berjuang,berpeluh,berlomba demi menghidupi anak dan istri.
Itulah yang semua lelaki di dunia ini mungkin bakal merasakannya.
aku yang kini hanya bisa berpangku tangan
Aku yang kini hanya bisa meminta,mengharap
Tidak selamanya aku harus begini.
Suatu saat nanti akan tiba waktuku tuk mempertaruhkan semua yang aku sudah dapat.
Akan tiba saatnya aku seperti bapak-bapak itu.
Membuat senang anak dan istri
Membuat dapur rumah menjadi ngebul
hmm.....

Wah,akhirnya bus Santosoku datang juga!!!
Pulaaaaaaangggg....
Mama,Papa,faisal,fika,tunggu aku besok pagi.
Kalianlah tulang kuat yang tertanam terbalut dalam kulitku...
Dan buat yang di jogja,sampai ketemu lagi.jangan lupa istirahat,kamu kan sibuk banget.hahaha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar